Thursday 22 December 2011

"CATATAN TENTANG AJARAN SUFI"

"BISMILLAH"
Beberapa catatan mengenai ajaran "SUFI" yang setelah sekian lama mengorek ngorek mencari., semoga pembaca boleh menilai dengan akal yang waras.. semoga allah mengurniakan rahmat kepada diri pembaca sekalian.....


Nama dan ajaran Sufisme tidak pernah dikenal atau ada pada masa kehidupan Rasul Shallallaahu 'alaihi wa Salam, para shahabat dan Tabi'in. kemudian setelah itu muncul sekelompok orang zuhud yang mengenakan pakaian sangat sederhana yang disebut dengan shuf (kulit domba) dan dari situlah awal penamaan sufi. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa sufi berasal dari kata sufiya yang dalam buku-buku falsafah Yunani diartikan dengan hikmah. Yang jelas munculnya nama baru ini ternyata membawa dampak bagi kaum muslimin, dimana akhirnya ajaran Sufi ini pecah menjadi sekian banyak aliran (tharikat) dan sufi yang berkembang sekarang ini lebih banyak kebid'ahan dan pemyimpangannya dibanding pendahulunya. Berikut ini penjelasan syaikh Muhammad bin Jamil Zainu tentang beberapa pokok ajaran sufi beserta tinjauannya dari pandangan Al Qur'an dan Sunnah.

1.Ajaran sufisme memiliki tharikat yang sangat banyak, masing-masing mengklaim bahwa tharikatnya yang paling benar. Padahal Al Qur'an melarang itu semua sebagaimana dalam firman Allah, artinya: "Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah. Yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka." (QS. Ar Rum :31-32) Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam juga menjelaskan bahwa tariqah atau jalan yang lurus hanyalah satu, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits Ibnu Mas'ud.

2.Ajaran sufisme membolehkan berdoa kepada selain Allah, baik itu nabi, para wali yang masih hidup maupun yang telah meninggal. Diantara mereka ketika beristighatsah ada yang mengucapkan: "Ya Syaikh Abdul Qadir Jailani, Ya Rifai atau ya Nabi kepada-mulah kami bersandar dan minta pertolongan". Ini menyalahi firman Allah yang artinya: "Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfa'at dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian itu) maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zalim". (QS. 10:106)

3.Ajaran sufisme meyakini adanya Abdal (wali badal), Aqthab (wali kutub) dan wali-wali lain yang diserahi oleh Allah mengatur segala urusan dan perkara di alam ini. Padahal orang-orang musyrik saja sebagaimana dikisahkan dalam Al Qur'an mengetahui bahwa yang mengatur semua urusan adalah Allah.

4.Sebagian penganut sufisme meyakini wihdatul wujud (alam adalah satu kesatuan sebagai wujud Rabb), ittihad atau hulul (bersatunya hamba dengan rabb) sehingga tidak ada beda antara khaliq dan makhluk. Ajaran ini disebarkan oleh Ibnu Arabi yang dalam penggalan syairnya ia berkata: "Hamba adalah Rabb dan Rabb adalah hamba". (Al Futuhat Al Makiyyah , Ibnu Arabi). Ajaran ini sangat keterlaluan karena orang yang musyrik atau sangat bodoh sekalipun akan bisa membedakan dirinya dengan Rabb (Tuhan).

5.Sebagian kaum sufi mengajarkan zuhud dalam kehidupan, namun dengan cara meninggalkan sebab-sebab atau usaha dan jihad (berjuang) padahal Allah telah berfirman, artinya: " Dan carilah pada apa yang telah dianu-gerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmat-an) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu." (QS. 28:77) "Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi." (QS. 8:60)

6.Tingkatan ihsan dalam sufi adalah ketika mereka berdzikir (kepada Allah), mereka membayangkan syaikh mereka bahkan ketika shalat pun demikian, tidak jarang diantara mereka yang menghadap gambar syaikhnya ketika shalat. Ini bertentangan dengan makna hadits Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Ihsan adalah beribadah kepada Allah seolah-olah kita melihatNya.

7.Dalam tasawuf seseorang tidak boleh beribadah kepada Allah karena takut neraka dan karena mengharap surga. Padahal Allah memuji para Nabi yang berdoa kepadaNya karena mengharap surga dan karena takut akan SiksaNya. Firman Allah, artinya: "Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdo'a kepada Kami dengan harap dan cemas."(QS. 21:90), yakni mengharap surga dan cemas akan siksa dan adzab Allah.

8.Ajaran Sufisme membolehkan mengeraskan suara dalam do'a atau zikir dan terkadang diiringi alat musik dan disertai tari-tarian sedang Allah telah berfirman, artinya: "Berdo'alah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." (QS. 7:55)

9.Sebagian kaum sufi tidak malu- malu menyebut nama khamar, mabuk, wanita dan jatuhcinta dalam syair-syairnya dan terkadang itu dibaca dalam acara-acara yang diadakan di masjid, sambil diiringi tepuk tangan dan teriakan-teriakan. Dalam Al Qur'an dijelaskan bahwa bertepuk tangan merupakan adat orang-orang musyrik dalam ibadah mereka. Firman Allah, artinya: "Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu." (QS. 8:35)

10.Sebagian orang Sufi ada yang senang melakukan atraksi-atraksi tertentu, misalnya menusuk, memukul diri dengan besi lalu ia memanggil ya jaddah (wahai eyang) sehingga ia tidak sakit atau terluka. Sebagian orang jahil menyangka bahwa ini adalah karamah padahal tidak lain adalah istidraj (pemberian yang menjerumuskan).

11.Orang-orang Sufi meyakini metode kasyf untuk menyingkap perkara-perkara ghaib. Padahal tidak ada yang mengetahui perkara ghaib kecuali Allah sebagaimana Firman Nya, yang artinya: "Katakanlah: "Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah", dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan." (QS. 27:65)

12.Orang Sufi berkeyakinan bahwa Nabi Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa Salam diciptakan oleh Allah dari NurNya. Kemudian dari Nur Muhammad diciptakan alam ini. Sedang Al Qur'an menyebutkan bahwa Nabi Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa Salam adalah manusia biasa yag diberi wahyu, dalam artian bahwa beliau anak turun Nabi Adam yang diciptakan dari tanah dan terlahir melalui seorang ibu. Firman Allah, artinya: "Katakanlah: "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Ilah kamu itu adalah Ilah Yang Esa". (QS. 18:110)

13.Kaum Sufi punya keyakinan bahwa dunia dan seisinya diciptakan karena Nabi Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa Salam padahal Allah telah berfirman bahwa jin dan manusia diciptakan adalah untuk beribadah, yang artinya: "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku". (QS. 51:56)

14.Ajaran Sufisme juga meyakini bahwa seseorang bisa melihat Allah ketika di dunia. Sedang Al Qur'an menyangkal semua ini. Sebagaimana kisah Nabi Musa yang ingin melihat Allah, artinya: " Rabb berfirman: "Kamu sekali-kali tak sanggup untuk melihatKu, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap ditempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". Tatkala Rabbnya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musapun jatuh pingsan. (QS. 7:143)

15.Diantara orang Sufi ada yang mengaku bisa bertemu Nabi Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa Salam (setelah beliau meninggal) dalam keadaan terjaga atau sadar penuh. Ini adalah sesuatu kedustaan, karena Al Qur'an menjelaskan bahwa alam barzah itu terdinding sehingga tidak mungkin orang yang telah meninggal kembali lagi ke dunia, Firman Allah, artinya: "Dan di hadapan mereka(yang telah meninggal) ada dinding sampai hari mereka dibangkitan." (QS. 23:100)

16.Sebagian penganut tasawwuf ada yang mengaku bahwa ia mendapat ilmu langsung dari Allah tanpa melalui Rasul Shallallaahu 'alaihi wa Salam. Ibnu Arabi mengatakan: "Dan dikalangan kami ada yang mengambil ilmu langsung dari Allah, maka ia menjadi pengganti Allah (khali-fatullah)."

Ini adalah ucapan yang batil, karena Al Qur'an menjelaskan bahwa perintah dan larangan Allah disampikan melalui RasulNya, sebagaimana firman-Nya, yang artinya: "Hai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu." (QS. 5:67)

Kemudian seseorang tidak akan mungkin jadi pengganti Allah, karena Allah tidak akan bisa lupa atau terlengah dalam mengawasi makhlukNya, justru Allahlah yang menjadi pengganti dalam menjaga keluarga kita, ketika kita sedang safar (bepergian) oleh karena itu Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam mengajarkan do'a: "Ya Allah Engkaulah teman dalam safar dan pengganti dalam kelaurga." (HR. Muslim)

17.Kaum sufi merayakan maulid dengan berkumpul dan menamakannya Majlis Shalawat Nabi. Sebagian mereka beri'tiqad bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam datang dalam acara tersebut dan bisa menolong mereka.

18.Kebanyakan orang sufi bersusah payah menyiapkan bekal dan uang, sekedar untuk menziarahi kubur tertentu dan bertabaruk (mencari berkah) di sana, dan ada pula yang menyembelih binatang atau thawaf. Ini melanggar larangan Rasul Shallallaahu 'alaihi wa Salam, dalam sebuah sabdanya, yang artinya: "Tidak boleh bersusah payah menyiapkan bekal untuk berpergian kecuali ke tiga masjid : Masjidil Haram, Masjdku ini (Nabawi), dan Masjidil Aqsha." (Muttafaq 'Alaih). Yang dimaksud bepergian dalam hadits di atas adalah dalam rangka ibadah atau mendatangi tempat-tempat yang dianggap mulia.

19.Kaum Sufi sangat fanatik dengan perkataan syaiknya (gurunya), walaupun terkadang ucapan itu tidak sesuai dengan sabda Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam. Firman Allah, artinya: " Hai orang-orang yang beriman,

20.janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-

21.Nya dan bertaqwalah kepada Allah." (QS. 49:1)

22.Kaum sufi banyak menggunakan Thalasim (rajah), huruf-huruf, dan angka-angka dalam memilih (baca: meramal), juga ada yang menggunakan jimat dan pengasihan. Ini termasuk perbuatan Arraf (tukang ramal) yang berbuat kesyirikan.

23.Kaum sufi senang membikin-bikin shalawat yang isinya terkadang mengandung kemusyrikan dan jarang menggunakan shalawat yang telah diajarkan oleh Rasulullah.


Sumber:  Ash-sufiyah fil Mizanil Kitab was Sunnah, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu (Dept. Ilmiah)

Monday 12 December 2011

KHUTBAH TERAKHIR NABI MUHAMMAD S.A.W

assalamualaikum disini saya ingin berkongsi sunnah qauliyah bersama sahabat-sahabat dan semua,, semoga bermanfaat...

Khutbah ini disampaikan pada 9hb zulhijjah, tahun 10 Hijriyah di lembah Uranah, Gunung Arafah..:
  "Wahai manusia dengar la baik-baik apa yang hendak aku katakan, aku tidak mengetahui apakah aku dapat bertemu lagi dengan kamu semua selepas tahun ini, oleh itu dengar lah dengan teliti kata-kataku ini dan sampaikanlah kepada orang-orang yang tidak dapat hadir disini pada hari ini..

   Wahai manusia, sepertimana kamu menganggap bulan ini dan Kota ini sebagai suci, maka anggaplah jiwa dan harta setiap orang Muslim sebagai amanah suci.Kembalikan harta yang diamanahkan kepada kamu kepada pemiliknya yang berhak.Janganlah kamu sakiti sesiapapun agar orang lain tidak menyakiti kami lagi. Ingatlah bahawa sesungguhnya, kamu akan menemui Tuhan kamu dan Dia pasti membuat perhitungan diatas segala amalan kamu. Allah telah mengharamkan riba, oleh itu segala urusan yang melibatkan riba dibatalkan sekarang.
Berwaspadalah terhadap syaitan demi keselamatan agama kamu. Dia telah berputus asa untuk menyesatkan kamu dalam perkara-perkara besar, maka berjaga-jagalah supaya kamu tidak mengikuti dalam perkara-perkara kecil.

   Wahai Manusia Sebagaimana kamu mempunyai hak atas isteri kamu mereka juga mempunyai hak di atas kamu. Sekiranya mereka menyempurnakan hak mereka keatas kamu, maka mereka, juga berhak untuk diberi makan dan pakaian dalam Susana kasih sayang. Layanilah wanita-wanita kamu dengan baik dan berlemah-lembutlah terhadap mereka kerana sesungguhnya mereka adalah teman dan pembantu kamu yang setia. Dan hak kamu atas mereka ialah mereka sama sekali tidak boleh memasukkan orang yang kamu tidak sukai kedalam rumah kamu dan dilarang melakukan zina.

   Wahai Manusia, dengarlah bersungguh-sungguh kata-kataku ini, sembahlah Allah, dirikanlah sembahyang lima kali sehari, berpuasalah di bulan Ramadhan, dan tunaikankanlah zakat dari harta kekayaan kamu. Kerjakanlah Ibadah Haji sekiranya kamu mampu. Ketahui bahawa setiap Muslim adalah saudara kepada Muslim yang lain. Kamu semua adalah sama; tidak seorang pun yang lebih mulia dari yang lainnya kecuali dalam Taqwa dan beramal saleh.
Ingatlah, bahawa, kamu akan menghadap Allah pada suatu hari untuk dipertanggung jawabkan diatas segala apa yang telah kamu kerjakan. Oleh itu Awasilah agar jangan sekali-kali kamu terkeluar dari landasan kebenaran selepas ketiadaaku.

   Wahai Manusia, tidak ada lagi Nabi atau Rasul yang akan datang selepasku dan tidak akan ada lain agama baru. Oleh itu wahai manusia, nilailah dengan betul dan fahamilah kata-kataku yang telah aku sampaikan kepada kamu. Sesungguhnya aku tinggalkan kepada kamu dua perkara yang sekiranya kamu berpegang teguh dan mengikuti kedua-duanya, necaya kamu tidak akan tersesat selama-lamanya. Itulah ALQURAN dan SUNNAHKU.

Hendaklah orang-orang yang mendengar ucapanku, menyampaikan pula kepada orang lain. Semoga yang terakhir lebih memahami kata-kataku dari mereka yang terus mendengar dariku. Saksikanlah Ya Allah, bahawasanya telah aku sampaikan risalahMu kepada hamba-hambaMU.

Friday 26 August 2011

Membahas Ucapan Jazakallahu khairan




Sering kita mengucapkan kalimat (جَزَاكَ اللهُ خَيْرًا) (semoga Allah membalas anda dengan kebaikan) atau kalau kepada perempuan jazaka menjadi jazaki dan kalau orangnya banyak jazakumullahu khairan. Ternyata ini adalah sunnah Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam sebagaimana terungkap dalam hadits riwayat At-Tirmidzi dengan sanad sebagai berikut:

Al Husain bin Hasan Al Marwazi di Mekah dan Ibrahim bin Sa’id Al Jauhari menceritakan kepada kami, keduanya berkata, Al-Ahwash bin Jawwab menceritakan kepada kami, dari Su’air bin Al-Khims, dari Sulaiman At-Taimi, dari Abu Utsman An-Nahdi, dari Usamah bin Zaid yang berkata, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صُنِعَ إِلَيْهِ مَعْرُوفٌ فَقَالَ لِفَاعِلِهِ جَزَاكَ اللَّهُ خَيْرًا فَقَدْ أَبْلَغَ فِي الثَّنَاءِ

Barangsiapa yang diberikan suatu kebaikan kepadanya lalu dia membalasnya dengan mengucapkan jazakallaahu khairan (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan) berarti dia telah sempurna dalam memuji.” (Sunan At-Tirmidzi, no. 2035).

Tinjauan sanad:
1.Al-Husain bin Hasan Al-Marwazi adalah guru At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, Al-Hafizh Ibnu Hajar menganggapnya “Shaduq”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam kitab Ats-Tsiqaat dan Abu Hatim mengatakan, “Shaduq”. (At-Taqrib 1/151, no. 1447, Tahdzib Al-Kamal 6/361-363, no. 1304).
2.Ibrahim bin Sa’id Al-Jauhari menurut Ibnu Hajar dia tsiqah lagi seorang hafizh (At-Taqrib 1/43, no. 204).
3.Al-Ahwash bin Al-Jawwab, Ibnu Hajar menganggapnya shaduq (jujur) mungkin ada keraguan. Ibnu Ma’in menganggapnya tsiqah dan Abu Hatim menganggapnya shaduq, salah satu gurunya adalah Su’air bin Al-Khims sebagaimana dijelaskan oleh Al-Mizzi. Dia salah seorang yang dipakai dalam Shahih Muslim sebagai hujjah. (At-Taqrib 1/54, no. 327, Tahdzib Al-Kamal 2/288, no. 286).
4.Su’air bin Al-Khims, Ibnu Hajar Taqrib 1/250, no. 2680, Tahdzib Al-Kamal 11/130, no. 2394).
5.Sulaiman At-Taimi, dia adalah Sulaiman bin Tharkhan Bukhari dan Muslim dan empat penyusun sunan. (At-Taqrib 1/261, no. 2836, Tahdzib Al-Kamal 12/5, no. 2531).
6.Abu Utsman An-Nahdi, namanya adalah Abdurrahman bin Mull, tsiqah tsabat ‘abid, memang biasa meriwayatkan dari Usamah bin Zaid. (At-Taqrib, 1/396, no. 4494, Tahdzib Al-Kamal 17/424, no. 3968).

Islam mengajarkan ucapan terimakasih kepada siapa saja yang berbuat baik kepada kita, sekecil apapun kebaikan itu. Tidak boleh mengingkari kebaikan orang yang telah kita nikmati, sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam:

مَنْ أُعْطِيَ عَطَاءً فَوَجَدَ فَلْيَجْزِ بِهِ وَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيُثْنِ فَإِنَّ مَنْ أَثْنَى فَقَدْ شَكَرَ وَمَنْ كَتَمَ فَقَدْ كَفَرَ

Siapa yang diberi pemberian maka hendaklah dia membalasnya dengan itu pula. Kalau tidak maka dengan memuji, sebab dengan memuji berarti telah berterimakasih dan siapa yang menyembunyikan (kebaikan orang padanya) berarti dia telah kufur nikmat.” (HR. At-Tirmidzi, no. 2034).
At-Taimi, karena memang dialah murid Abu Utsman An-Nahdi dan salah satu muridnya adalah Su’air bin Al-Khims. Tsiqah ‘abid dipakai oleh Al-
Berterimakasih kepada sesama manusia merupakan salah satu bentuk syukur atas nikmat Allah, sebagaimana terungkap dalam hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda,

لاَ يَشْكُرُ اللهَ مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ

Tidak dinamakan bersyukur kepada Allah bagi siapa yang tidak berterimakasih kepada manusia.” (HR. Abu Daud, no. 4811, At Tirmidzi no. 1954 )[1]

Al-Khaththabi menjelaskan hadits ini mengandung dua kemungkinan, pertama, orang yang menjadi kebiasaannya adalah mengingkari nikmat dari manusia, maka juga akan menjadi tabiatnya mengingkari nikmat Allah.
Kemungkinan kedua, bahwa Allah tidak menerima syukur dari seorang hamba kalau si hamba itu tidak pandai berterimakasih atas kebaikan orang lain, karena keduanya saling berhubungan.[2]
Jadi, jangan remehkan ucapan terimakasih kepada siapapun yang berjasa, baik memberi bantuan materil maupun moril, karena itu adalah salah satu bentuk syukur kepada Allah Ta’ala.
Kadang kita suka salah dalam mengucapkan ini, seperti mengucapkan ”Jazakallah khair” itu secara bahasa bisa diartikan begini: ”Semoga kebaikan membalasmu dengan Allah.” Makanya, ujung ’AN’ yang ada setelah kata khair jangan sampai ketinggalan.
Demikian semoga bermanfaat, dan saya ucapkan JAZAKUMULLAHU KHAIRAN atas perhatiannya..:)


[1] Dianggap shahih oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib, no. 973, dan As-Silsilah Ash-Shahihah, no. 416.
[2] Lihat: Ma’alim As-Sunan, juz 4 hal. 113 ketika menjelaskan hadits di atas.menganggapnya shaduq dan dia dipakai dalam Shahih Muslim berupa hadits tentang waswas. Ibnu Ma’in dalam riwayat Ad-DAuri menganggapnya tsiqah, Abu Hatim menganggapnya shaduq dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam kitab Ats-Tsiqaat. (At-

jawabannya boleh : wa iyyaaka yg kalau diartikan adalah (sama-sama) atau terimakasih kembali, atau kembali kasih dan lain sebagainya. 
Dalam hadits Al Bara` bin 'Azib ttg azab kubur yg panjang itu ketika kita mati nanti dan kebetulan kita adalah orang baik (insya Allah) maka amal baik kita mengucapkan kepada kita "Jazakallah khairan" lalu kitapun menjawab wa anta jazakallah khairan.
Demikian pula berdasarkan sebuah hadits riwayat Ath-Thabarani dalam Al-Mu'jam Al-Kabir bahwa ketika Rasulullah mendapat ucapan jazakallah khairan maka beliau menjawab, wa antum ya ma'asyiral anshar jazakumullah khairan".
  

Wednesday 24 August 2011

HUKUM MELAFAZ NIAT DALAM IBADAH


Soalan:
“Assalamualaikum, saya telah pergi untuk membayar zakat di sebuah negeri di pejabat yang berkaitan, semasa di kaunter tersebut, pegawai yang bertugas meminta saya untuk membaca lafaz zakat yang telah disediakan oleh pihak mereka. Soalan saya, adakah terdapat hukum tentang kena melafazkan semasa membayar zakat?Adakah diwajibkan di dalam hukum syarak? terima kasih...”

Jawapan:
             Niat adalah kehendak atau kemahuan melakukan sesuatu, orang-orang ‘Arab apabila mereka menyebut: نَوَاكَ اللهُ بِخَيْرٍia bermaksud: “Allah menghendakkan kebaikan untukmu.”  Oleh yang demikian, tempat niat adalah di dalam hati seperti yang telah disepakati oleh kesemua ulama (Ijmak Ulama).
            Adapun berkaitan melafazkan niat dengan lidah, perkara ini tidak terdapat sebarang petunjuk dari Nabi SAW, para Sahabat dan para ulama al-Salaf al-Soleh seperti al-Imam Abu Hanifah, al-Imam Malik bin Anas, al-Imam al-Syafie, al-Imam Ahmad dan selain mereka. Oleh yang demikian tidak perlu melafazkan niat untuk Solat, Puasa demikian juga ketika membayar Zakat. Tindakan pegawai yang bertugas meminta saudara membaca lafaz zakat adalah tidak wajar kerana ia akan menimbulkan salah faham seolah-olah lafaz itu sesuatu yang mesti dilakukan sedangkan hukum yang sebenarnya tidak begitu. Syeikh al-Islam Ibn Taimiyyah berkata:

نية الطهارة من وضوء أو غسل أو تيمم والصلاة والصيام والحج والزكاة والكفارات وغير ذلك من العبادات لا تفتقر إلى نطق اللسان باتفاق أئمة الإسلام . بل النية محلها القلب دون اللسان باتفاقهم فلو لفظ بلسانه غلطا بخلاف ما نوى فينن قلبه كان الاعتبار بما نوى لا بما لفظ ولم يذكر أحد في ذلك خلافا إلا أن بعض متأخري أصحاب الشافعي - رحمه الله - خرج وجها في ذلك وغلطه فيه أئمة أصحابه وكان سبب غلطه أن الشافعي قال :
.إن الصلاة لا بد من النطق في أولها
أراد الشافعي بذلك : التكبير الواجب في أولها فظن هذا الغالط أن الشافعي أراد النطق بالنية فغلطه أصحاب الشافعي جميعهم،
ولكن تنازع العلماء : هل يستحب التلفظ بالنية سرا أم لا ؟ هذا فيه قولان معروفان للفقهاء.
فقال طائفة من أصحاب أبي حنيفة والشافعي وأحمد : يستحب التلفظ بها ; كونه أوكد . وقالت طائفة من أصحاب مالك وأحمد وغيرهما : لا يستحب التلفظ بها ; لأن ذلك بدعة لم تنقل عن رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا عن أصحابه ولا أمر النبي صلى الله عليه وسلم أحدا من أمته أن يتلفظ بالنية ولا علم ذلك أحدا من المسلمين ولو كان هذا مشهورا مشروعا لم يهمله النبي صلى الله عليه وسلم وأصحابه مع أن الأمة مبتلاة به كل يوم وليلة .
وهذا القول أصح الأقوال . بل التلفظ بالنية نقص في العقل والدين . أما في الدين فلأنه بدعة . وأما في العقل فلأنه بمنزلة من يريد [ أن ] يأكل طعاما فيقول : نويت بوضع يدي في هذا الإناء أني أريد [ أن ] آخذ منه لقمة فأضعها في فمي فأمضغها ثم أبلعها لأشبع . مثل القائل الذي يقول : نويت أصلي فريضة هذه الصلاة المفروضة علي حاضر الوقت أربع ركعات في جماعة أداء لله تعالى . فهذا كله حمق وجهل وذلك أن النية بلاغ العلم فمتى علم العبد ما يفعله كان قد نواه ضرورة فلا يتصور مع وجود العلم بالعقل أن يفعل بلا نية ; ولا يمكن مع عدم العلم أن تحصل نية .
وقد اتفق الأئمة على أن الجهر بالنية وتكريرها ليس بمشروع بل من اعتاد ذلك فإنه ينبغي له أن يؤدب تأديبا يمنعه عن ذلك التعبد بالبدع وإيذاء الناس برفع صوته ; لأنه قد جاء الحديث : { أيها الناس كلكم يناجي ربه فلا يجهرن بعضكم على بعض بالقراءة } فكيف حال من يشوش على الناس بكلامه بغير قراءة ؟ بل يقول : نويت أصلي أصلي فريضة كذا وكذا في وقت كذا وكذا من الأفعال التي لم يشرعها رسول الله صلى الله عليه وسلم

Mafhumnya:“Niat bagi Wudhu, mandi (janabah), Tayammum, Solat, Puasa, Zakat, Kaffarah dan yang seumpamanya adalah termasuk ibadah. (akan tetapi) niat itu tidak memerlukan pengucapan lidah (melafazkannya) dengan kesepakatan para ulama Islam (Ijmak Ulama). Bahkan niat itu tempatnya adalah di dalam hati dengan kesepakatan para ulama juga. Seandainya seseorang melafazkan niat berbeza dengan apa yang ada di dalam hatinya kerana tersasul, maka yang dikira ialah apa yang ada di dalam hati bukan apa yang dilafazkan. 
            Tidak ada seorangpun para ulama yang berbeza dalam menyebut perkara ini, melainkan sebahagian Ashab[1] Mutaakkhirin al-Syafie, yang mana mereka telah mengeluarkan satu wajah[2] membolehkan lafaz niat, akan tetapi para Imam Ashab Mazhab al-Syafe mendakwa cara pengeluaran itu adalah satu kekeliruan. Sebab yang membawa kepada kekeliruan ini apabila al-Syafie berkata:
إنَّ الصَّلَاةَ لَا بُدَّ مِنْ النُّطْقِ فِي أَوَّلِهَا
 (Maksudnya): “Sesungguhnya solat mestilah dengan penuturan (النُطْقُ) pada awalnya.” Yang dimaksudkan oleh al-Syafie dengan perkataannya ini ialah Takbir yang wajib dituturkan di awal solat, namun ada yang terkeliru menyangka al-Syafie memaksudkan dengan النُطْقُ itu ialah niat (iaitu melafazkan niat), oleh kerana itu kesemua (Imam) Ashab mazhab al-Syafie menyatakan ianya satu kesilapan.
Akan tetapi para ulama berbeza pandangan, apakah disunatkan melafazkan niat secara perlahan ataupun tidak? Terdapat dua pandangan yang masyhur di sisi ulama fekah. Sekumpulan ulama mazhab Abu Hanifah, al-Syafie dan Ahmad berpandangan: Disunatkan melafazkan niat (secara perlahan) dan ianya suatu yang dituntut. Sekumpulan ulama dari mazhab Malik, Ahmad dan lainnya berpendapat: tidak disunatkan melafazkan niat, kerana perbuatan ini adalah bid’ah, ia tidak dinukilkan dari Rasulullah SAW, tidak juga dari para sahabat baginda. Baginda juga tidak pernah menyuruh seorangpun dari umat baginda untuk melafazkan niat, baginda juga tidak pernah mengajarkan lafaz niat kepada seorangpun dari kalangan umat Islam di zaman baginda. Sekiranya perkara ini suatu yang disyariatkan sudah tentu baginda tidak akan mengabaikannya demikian juga para sahabat baginda kerana perkara ini (niat) adalah perkara yang dilalui oleh umat Islam pada setiap hari dan malam.
Inilah pandangan yang lebih benar, bahkan melafazkan niat menunjukkan ada kekurangan pada akal dan agama. Kekurangan dari sudut agama kerana ia merupakan suatu bid’ah, adapun kekurangan dari sudut akal, ia sama seperti seseorang yang hendak makan, lalu dia berkata (melafazkan): Sahaja aku berniat dengan meletakkan tanganku ke dalam bekas makan ini bahawa aku hendak mengambil satu suap makanan darinya, kemudian aku meletakkannya di dalam mulutku, kemudian mengunyahnya dan seterusnya menelannya supaya aku kenyang.” Orang yang menyebut perkara ini sama dengan orang yang berkata: “Sahaja aku berniat untuk menunaikan solat yang difardhukan ke atas aku ini, di dalam waktunya, empat rakaat tunai kerana Allah Ta’ala.” Hal ini semua menunjukkan kekurang akal dan kejahilan, ianya kerana niat adalah apabila telah sampai pengetahuan, maka apabila seseorang mengetahui apa yang akan dilakukannya, ini bermakna dia semestinya telah berniat, tidak dapat digambarkan bagaimana seseorang telah tahu untuk melakukan sesuatu amalan tetapi melakukannya tanpa niat? Sama halnya tidak mungkin seseorang yang tidak tahu (tidak mahu) melakukan sesuatu untuk dia ada niat melakukan perkara tersebut.
Sesungguhnya telah sepakat semua para imam melafazkan niat dan mengulanginya bukanlah suatu yang disyariatkan, bahkan sesiapa yang terbiasa dengannya, ia sepatutnya diberi pengajaran yang dapat menghalangnya dari berterusan beribadah dengan perkara bid’ah dan menggangu orang lain dengan mengangkat suaranya, ini kerana hadis menyatakan: “Wahai sekelian manusia, semua kamu bermunajat kepada tuhannya, maka jangan sebahagian kamu menjelaskannya (melafazkan) beberapa bacaan.” Bagaimana pula keadaannya orang yang mengganggu orang ramai dengan perkataannya yang bukan merupakan bacaan (di dalam solat)? Sebaliknya ia hanya mengucapkan: “Sahaja aku solat, sahaja aku solat fardhu demikian demikian, waktu demikian demikian yang merupakan perbuatan yang tidak disyariatkan oleh Rasulullah SAW.” (Sila lihat Majmu’ Fatawa Syeikh al-Islam Ibn Taimiyyah. Jilid: 22, halaman: 230-232. Cet: Dar al-‘Arabiah)

Wallahu a’lam.


[1] Ashab berdasarkan Mustalahat Mazhab al-Syafie ialah para Fuqaha’ dari kalangan ulama mazhab Syafie yang telah sampai ke tahap ilmu yang tinggi, sehingga mereka memiliki ijtihad-ijtihad fekah tersendiri, yang mereka keluarkan berdasarkan usul-usul al-Imam al-Syafie, dan mereka melakukan istinbat melalui pengamalan dengan kaedah-kaedah beliau. Oleh itu dalam perkara ini mereka dinisbahkan kepada al-Imam al-Syafie dan mazhab beliau. Namun dalam persoalan melafazkan niat, ia hanya pandangan Ashab yang kemudian dan pandangan ini dibantah oleh para Imam Ashab mazhab al-Syafie. Wallahu a’lam.
[2] Wajah (الوَجْهُ) berdasarkan Mustalahat Mazhab al-Syafie iaitulah pandangan Ashab mazhab al-Syafie, mereka mengeluarkannya dan mengistinbatkannya berdasarkan usul-usul dan kaedah-kaedah mazhab, terkadang juga mereka berijtihad dalam sebagaian wajah jika mereka tidak mengambil dari usulnya. (Sila lihat al-Majmu’Mughniy al-Muhtaj danHasyiah Qalyubi

Tuesday 14 June 2011

"PUISI MUDAH NYA ISLAM"

Islam Mudah & Indah.
Islam itu mudah dan indah jika tidak melakukan kenduri arwah(berkumpul untuk sedekahkan pahala pada simati).
Islam itu mudah dan indah jika tidak melakukan Talkin(mengajar simati).
Islam itu mudah dan indah jika tidak menetapkan bacaan surah yassin pada malam jumaat.
Islam itu mudah dan indah jika tidak melakukan solat dikuburan.
Islam itu mudah dan indah jika tidak burkumpul melakukan perarakkan Maulidurrasul.
Islam itu mudah dan indah jika tidak menyambut malam nisfu Sya’ban.
Islam itu mudah dan indah jika tidak menetapkan semua doa perlu menadah tangan.
Islam itu mudah dan indah jika tidak melaungkan azan dua kali ketika solat jumaat.
Islam itu mudah dan indah jika tidak melakukan majlis persandingan pengantin atau menabur beras kunyit.
Islam itu mudah dan indah jika membuang segala adat ketika majlis pernikahan(perkahwinan).
Islam itu mudah dan indah jika tidak menetapkan Qunut hanya disolat subuh.
Islam itu mudah dan indah kalau tidak menetap kan solat terawih hanya didalam masjid atau surau sahaja.
Islam itu mudah dan indah jika tidak mencipta solat-solat sunat yang baru.
Islam itu mudah dan indah jika setiap solatnya dilakukan mengikut Sifat Solat Rasullullah S.A.W.
“Islam itu mudah dan indah jika tidak bermazhab dan menetapkan sesuatu mazhab untuk dirinya.”
“Islam sangat mudah dan indah kalau setiap perkara ibadahnya dilakukan mengikut apa yang rasullullah kerjakan.”

“ketahuilah wahai pembaca-pembaca sekalian, islam sudah pun sempurna dan tidak perlu ditokok-tokok tambah lagi” dan allah telah berfirman,
“”Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian. Dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku kepada kalian. Dan Aku ridha Islam menjadi agama kalian.” (Al- Maidah: 3)”..

firman allah lagi,
Sesungguhnya telah ada dalam diri Rasulullah (Muhammad) contoh teladan yang baik bagi orang yang mengharapkan Allah dan (pahala) hari akhirat, dan banyak mengingat Allah.” (Al-Ahzab: 21)

didalam hadith khutbah terakhir nabi Muhammad S.A.W juga menyatakan,
Dari Abi Nujaih 'Irbadl bin Sariyyah RA, ia berkata : Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam memberi pelajaran kepada kami sehingga hati kami takut kepadanya dan mata mencucurkan air mata. Kami berkata : "Wahai Rasulullah, sepertinya pelajaran ini adalah pelajaran orang yang akan berpisah ? Oleh kerana itu, berilah kami nasihat". Baginda bersabda : "Aku wasiatkan hendaklah kalian bertaqwa kepada Allah,mendengar dan taat kepada pemimpin kalian sekali pun diperintah oleh seorang hamba, kerana orang-orang yang hidup selepas ini akan melihat perselisihan yang banyak. Maka, hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para khulafaur-rasyidin yang mendapat petunjuk sesudahku. Gigit (pegang erat) sunnah tersebut dengan gigi geraham. Tinggalkanlah hal-hal yang baru (dalam agama), kerana setiap bid'ah adalah sesat"..
[Diriwayatkan oleh Abu Daud no. 4607; At-Tirmizi no. 2676; Ahmad 4/126-127; Ad-Darimi 1/44; Ibnu Majah no. 43,44; Ibnu Abi 'Ashim dalam As-Sunnah no. 27; Ath-Thahawi dalam Syarh Musykilil-Atsar 2/69; Al-Baghawi no. 102; Al-Ajjuri dalam Asy-Syari'ah hal. 46; Al-Baihaqi 6/541; Al-Lalika'i dalam Ushulul-I'tiqad no. 81; Al-Marwadzi dalam As-Sunnah no. 69-72; Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah 5/220, 10/115; dan Al-Hakim 1/95-97. Hadith tersebut berdarjat sahih].

Pengajaran yang boleh diambil dari hadith ini sungguh besar. Perkataan Rasulullah SAW pada potongan ayat "kerana orang-orang yang hidup selepas ini akan melihat perselisihan yang banyak" telah menunjukkan betapa penting dan gentingnya peringatan Rasulullah SAW ketika itu. Maka benarlah kata-kata Rasulullah SAW bahawa perselisihan itu pasti akan berlaku. Hari ini kita melihat ramai umat Muslim berpecah kepada banyak pendapat. Kelihatan banyak amalan-amalan dan ritual baru telah muncul. Kebanyakannya kelihatan cenderung untuk menghalalkan apa yang direka cipta di dalam agama dan enggan kembali kepada cara yang ditinggalkan oleh Rasulullah SAW dalam peribadatan...

Disini ada 1 penyelesaian yang bijak iaitu,
hanya mengamalkan cara Ibadah seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan meninggalkan segala Bid'ah (Ritual agama selain yang diajar oleh Rasulullah SAW). Dengan cara ini kita tidak perlu lagi berbalah sama ada amalan rekaan itu boleh dilakukan atau tidak kerana jika kita hanya mengamalkan cara Ibadah Rasulullah SAW, maka kita pasti akan selamat dari risiko kesesatan dan Bid'ah. Jika kita masih ingin mengamalkan perkara baru, maka ia masih dalam situasi samar (bagi mereka yang tidak memahami Sunnah). Tidak mahukah kita memilih jalan yang paling bebas risiko ? Sudah tentu apa yang kita tahu Rasulullah SAW lakukan itu benar dan mutlak. Kaedah ini adalah kaedah paling selamat untuk kita menempuhi zaman yang penuh dengan fitnah dan penyelewengan. Wallahua'lam. ..

APA ITU BIDA'AH.???..


Nota ini bukanlah untuk menjatuhkan sesiapa atau memburukkan sesiapa. ia bertujuan untuk menerangkan sesuatu yg tidak jelas dalam masyarakat kita seterusnya dianggap sebagai sesuatu yang di boleh di amalkan dengan alasan mempunyai niat yang baik. Semoga ia bermanfaat kepada semua. =)

Secara bahasa, bid’ah ialah perkara baru yang tiada contoh sebelumnya. Adapun dari sudut istilah syarak bid’ah ialah apa jua perkara baru di dalam urusan agama (khususnya dalam perkara akidah dan ibadat) yang tiada contoh dan anjurannya daripada Rasulullah s.a.w; sama ada menerusi fi’liyyah (perbuatan), qauliyyah (perkataan) mahupun takrirriyyah (pengakuan/pengiktirafan) baginda s.a.w. Dilihat dari sudut hukum bid’ah, telah ijmak para ulamak bahawa bid’ah adalah haram di sisi agama. Tidak ada satu jua daripadanya yang boleh dianggap sebagai baik mengingatkan ucapan baginda s.a.w dan ucapan para tokoh Salaf di bawah ini:

إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.

Sesungguhnya perkataan yang paling benar adalah kitabullah. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Sedangkan seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan dan semua yang diada-adakan adalah bid’ah. Semua (setiap) yang bid’ah adalah sesat dan semua yang sesat tempat kembalinya adalah neraka”.  – Lihat Sunan ­al-Nasa’i, no: 1560.

Imam Malik bin Anas r.h (179H) berkata:

من ابتدع في الإسلام بدعة يراها حسنة فقد زعم أن محمدا صلى الله عليه وسلم خان الرسالة، لأن الله يقول: (اليَومَ أكْمَلْتُ لَكُم دِينَكُمْ) فما لم يكن يومئذ دينا فلا يكون اليوم دينا.

Sesiapa yang membuat bid’ah (perkara baru) dalam Islam dan menganggapnya baik (hasanah) maka dia telah mendakwa Muhammad s.a.w mengkhianati risalah.Ini kerana Allah telah berfirman:  (bermaksud): Pada hari ini Aku telah sempurnakan agama kamu”. (Ayat ini bermaksud) Apa yang pada hari tersebut tidak menjadi (ajaran) agama, maka ia (juga) tidak menjadi (sebagai ajaran) agama pada hari ini. – Lihat  Al-Syatibi, al-I’tishom, ms. 35.

Selanjutnya, Abdullah bin ‘Umar r.a pula berkata:

كلُّ بدعة ضلالة وإن رآها النا س حسنة

Semua bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya hasanah (baik). – Lihat al-Lalaka’i 1/104 dan Ibnu Battah dalam al-Ibanah 1/339, no: 205.

Seterusnya, perhatikan pula perkataan Abdullah bin Mas’ud r.a berikut:

 اِتّبِعُوْا وَلاَ تَبْتَدِعُوْا، فَقَدْ كُفِيْتُمْ، وَ كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.

Ittiba’lah (ikutilah Sunnah) dan janganlah kalian berbuat bid’ah, sungguh telah cukup bagi kalian (agama ini), dan semua bid’ah adalah sesat! – Lihat Ibn Baththah dalam Al-Ibanah,  1/327-328, no: 175.

SALAH FAHAM TERHADAP TAKRIF IMAM SYAFIE

Berkata Ibn Rajab al-Hanbali rahimahullah (795H):

al-Syafi‘i berkata, “Bid‘ah itu ada dua jenis: Bid‘ah Mahmudah (dipuji) dan Bid‘ah Mazmumah (مذمومة) (dikeji). Apa yang menepati sunnah maka ia dipuji. Apa yang menyanggahi sunnah maka ia dikeji.”

(Ibn Rajab meneruskan) Maksud al-Syafi‘i rahimahullah ialah seperti yang kita sebutkan sebelum ini, bahawa Bid‘ah Mazmumah ialah apa yang tiada asal dari syariat untuk dirujuk kepadanya. Inilah bid‘ah pada istilah syarak. Adapun Bid‘ah Mahmudah ialah apa yang bertepatan dengan sunnah. Iaitu apa yang ada baginya asal untuk dirujuk kepadanya. Ia adalah bid‘ah dari segi bahasa, bukannya dari segi syarak kerana ia menepati sunnah.
( (Ibn Rajab al-Hanbali,), jld. 2, m.s. 52.)

Justeru itu ketika menghuraikan maksud pembahagian bid‘ah oleh al-Imam al-Syafi‘i, al-Hafizd Ibn Hajar al-‘Asqalani
(852H) berkata:
Maka bid‘ah pada ta’rifan syarak adalah dikeji. Ini berbeza dengan (maksud bid‘ah dari segi) bahasa di mana setiap yang diada-adakan tanpa sebarang contoh dinamakan bid‘ah sama ada dipuji ataupun dikeji.
( Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari, jld. 15, m.s. 179.)

Antara bukti al-Imam al-Syafi‘i tidak memaksudkan bid‘ah dalam ibadah sebagai Bid‘ah Mahmudah ialah bantahan beliau terhadap golongan yang berterusan dalam berzikir secara kuat selepas solat. Amalan ini dianggap Bid‘ah Hasanah oleh sesetengah pihak.

Ketika mengulas hadith : Ibn ‘Abbas radhiallahu 'anh

إنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

Sesungguhnya mengangkat suara dengan zikir setelah orang ramai selesai solat fardu berlaku pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam .....al-Imam al-Syafi’i dalam kitab utamanya al-Umm berkata:
(al-Syafi'i, Mausu‘at al-Imam al-Syafi'i: al-Umm (موسوعة الإمام الشافعي), jld. 1, m.s. 353.)


وأختار للامام والمأموم أن يذكرا الله بعد الانصراف من الصلاة ويخفيان الذكرَ إلا أن يكون إماما يُحِبُّ أن يتعلّم منه فيجهر حتى يُرى أنه قد
تُعُلِّمَ منه ثم يُسِرّ

Pendapatku untuk imam dan makmum hendaklah mereka berzikir selepas selesai solat. Hendaklah mereka mensenyapkan zikir kecuali jika imam mahu dipelajari daripadanya (mengajar bacaan-bacaan zikir tersebut), maka ketika itu dikuatkan zikir. Sehinggalah apabila didapati telah dipelajari daripadanya, maka selepas itu hendaklah dia perlahankan.

Adapun hadith Ibn ‘Abbas di atas, al-Imam al-Syafi’i menjelaskan seperti berikut

وأحسبه إنما جهر قليلا ليتعلّم الناس منه وذلك لأن عامة الروايات التي كتبناها مع هذا وغيرها ليس يذكر فيها بعد التسليم تَهليلٌ ولا تكبير، وقد يذكر أنه ذكر بعد الصلاة بما وصَفْتُ، ويذكر انصرافَه بلا ذكر، وذكرت أمُّ سلمةَ مُكْثَه ولم يذكر جهرا، وأحسبه لم يَمكُثْ إلاّ ليذكرَ ذكرا غير جهْرٍ. فإن قال قائل: ومثل ماذا؟ قلت: مثل أنه صلّى على المنبر يكون قيامُه وركوعُه عليه وتَقهْقَرَ حتى يسجدَ على الأرض، وأكثر عمره لم يصلّ عليه، ولكنه فيما أرى أحب أن يعلم من لم يكن يراه ممن بَعُد عنه كيف القيامُ والركوعُ والرفع. يُعلّمهم أن في ذلك كله سعة. وأستحبُّ أن يذكر الإمام الله شيئا في مجلسه قدر ما يَتقدم من انصرف من النساء قليلا كما قالت أم سلمة ثم يقوم وإن قام قبل ذلك أو جلس أطولَ من ذلك فلا شيء عليه، وللمأموم أن ينصرفَ إذا قضى الإمام السلامَ قبل قيام الإمام وأن يؤخر ذلك حتى ينصرف بعد انصرافِ الإمام أو معه أَحَبُّ إلي له.


Aku berpendapat baginda menguatkan suara (zikir) hanya untuk seketika untuk orang ramai mempelajarinya daripada baginda. Ini kerana kebanyakan riwayat yang telah kami tulis bersama ini (Maksud al-Imam al-Syafi'i ialah apa yang beliau tulis dalam al-Umm tersebut dalam bab Kalam al-Imam wa Julusihi Ba’d al-Salam (كلام الإمام وجلوسه بعد السلام) yang mana beliau telah mengemukakan beberapa hadith yang menunjukkan baginda tidak menguatkan suara ketika zikir selepas solat.)atau selainnya, tidak menyebut selepas salam terdapat tahlil ( Tahlil maksudnya ialah ucapan: لا إله إلا الله.) dan takbir. Kadang-kala riwayat menyebut baginda berzikir selepas solat seperti yang aku nyatakan, kadang-kala disebut baginda pergi tanpa zikir. Umm Salamah pula menyebut duduknya baginda* (selepas solat) tetapi tidak menyebut baginda berzikir secara kuat. Aku berpendapat baginda tidak duduk melainkan untuk berzikir secara tidak kuat.

Jika seseorang berkata: “Seperti apa?” (Maksudnya, apakah contoh perkara yang pernah baginda lakukan hanya seketika kemudian setelah orang ramai mempelajarinya baginda tinggalkan. al-Imam al-Syafi'i menyebut contoh ini untuk menyokong pendapat beliau bahawa zikir selepas solat secara kuat hanya dilakukan oleh baginda pada seketika sahaja, kemudian zikir baginda berzikir secara perlahan.). Aku katakan, sepertimana baginda pernah bersolat di atas mimbar, yang mana baginda berdiri dan rukuk di atasnya, kemudian baginda undur ke belakang untuk sujud di atas tanah. Kebanyakan umur baginda, baginda tidak solat di atasnya (mimbar). Akan tetapi aku berpendapat baginda mahu agar sesiapa yang jauh yang tidak melihat baginda dapat mengetahui bagaimana berdiri (dalam solat), rukuk dan bangun (dari rukuk). Baginda ingin mengajar mereka keluasan dalam itu semua.

Aku suka sekiranya imam berzikir nama Allah di tempat duduknya sedikit dengan kadar yang seketika selepas kaum wanita pergi. Ini seperti apa yang Umm Salamah katakan. Kemudian imam boleh bangun. Jika dia bangun sebelum itu, atau duduk lebih lama dari itu, tidak mengapa. Makmum pula boleh pergi setelah imam selesai memberi salam, sebelum imam bangun. Jika dia lewatkan sehingga imam pergi, atau bersama imam, itu lebih aku sukai untuknya.

*Maksud al-Imam al-Syafi'i ialah hadith riwayat Umm Salamah yang beliau sebutkan pada awal bab berkenaan:
كان رسول الله  صلى الله عليه وسلم  إذا سلم من صلاته قام النساء حين يقضي تسليمه ومكث النبي  صلى الله عليه وسلم في مكانه يسيرا قال ابن شهاب فنرى مكثه ذلك والله أعلم لكي ينفذ النساء قبل أن يدركهن من انصرف من القوم
Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila memberi salam dari solat maka kaum wanita akan bangun apabila baginda selesai memberi salam. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pula duduk sekejap ditempatnya selepas solat. Kata Ibn Syihab: Kami berpendapat – Allah lebih mengetahui – tujuannya agar kaum wanita dapat pergi sebelum kaum lelaki keluar. Hadith ini turut diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, al-Nasai, Abu Daud, Ibn Majah dan lain-lain.

Nyata sekali al-Imam al-Syafi’i rahimahullah tidak menamakan ini sebagai Bid‘ah Hasanah, sebaliknya beliau berusaha agar kita semua kekal dengan bentuk asal yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Seandainya maksud Bid‘ah Mahmudah yang disebut oleh al-Imam al-Syafi’i merangkumi perkara baru dalam cara beribadah yang dianggap baik, sudah tentu beliau akan memasukkan zikir secara kuat selepas solat dalam kategori Bid‘ah Mahmudah. Dengan itu tentu beliau juga tidak akan berusaha menafikannya. Ternyata bukan itu yang dimaksudkan oleh beliau rahimahullah.

(Oleh itu perlu dibetulkan salah faham sesetengah pihak yang mendakwa sesiapa yang tidak berzikir secara kuat selepas solat ialah orang-orang yang tidak mengikut Mazhab al-Syafi’i. Ternyata bahawa dakwaan mereka adalah salah, bahkan menunjukkan pihak yang mendakwa itu tidak meneliti kitab al-Imam al-Syafi'i.)

SALAH FAHAM TERHADAP UCAPAN UMAR AL KHATTAB

Sesetengah pihak cuba berdalil dalam membolehkan bid‘ah dengan menyatakan bahawa Saiyyidina ‘Umar radhiallahu 'anh turut telah membuat bid‘ah. Mereka berkata, pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak ada Solat Tarawih berjamaah lalu ‘Umar melakukannya dan menyatakannya sebagai: “Sebaik-baik bid‘ah” (نعمت البدعة هذه).

Yang mereka maksudkan ialah apa yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dalam Shahihnya dan al-Imam Malik dalam al-Muwattha’:


عَنْ عَبْدِالرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِي اللَّه عَنْهم لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ. فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ. فَقَالَ عُمَرُ: إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ. ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلاَةِ قَارِئِهِمْ. قَالَ عُمَرُ: نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ وَالَّتِي يَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنِ الَّتِي يَقُومُونَ.  يُرِيدُ آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ أَوَّلَهُ.

Daripada ‘Abd al-Rahman bin ‘Abd al-Qari, katanya: Pada satu malam di bulan Ramadan aku keluar bersama dengan ‘Umar bin al-Khattab radhiallahu 'anh ke masjid. Di dapati orang ramai berselerakan. Ada yang solat bersendirian, ada pula yang bersolat dan sekumpulan (datang) mengikutinya.

 ‘Umar berkata: “Jika aku himpunkan mereka pada seorang imam adalah lebih baik.” Kemudian beliau melaksanakannya maka dihimpunkan mereka dengan (diimamkan oleh) Ubai bin Ka‘ab. Kemudian aku keluar pada malam yang lain, orang ramai bersolat dengan imam mereka (Ubai bin Ka‘ab).

Berkata ‘Umar: “Sebaik-baik bid‘ah adalah perkara ini, sedangkan yang mereka tidur (solat pada akhir malam) lebih dari apa yang mereka bangun (awal malam).”
(Rujuk Shahih al-Bukhari – hadith no: 2010 (Kitab Solat Tarawih, Bab keutamaan orang yang beribadah pada malam Ramadhan) dan al-Muwattha’)

Berdasarkan riwayat di atas, ada yang tersalah sangka dengan menganggap ‘Umar bin al-Khattab adalah orang yang pertama memulakan Solat Tarawih secara berjamaah. Maka dirumuskan bahawa ia adalah satu perbuatan bid‘ah yang dianggap baik oleh ‘Umar. Justeru boleh membuat bid‘ah di dalam ibadah asalkan ia dilakukan dengan niat yang baik.

Sebenarnya rumusan seperti ini muncul kerana kurang membaca hadith-hadith Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah melakukan Solat Tarawih secara berjamaah dan ini jelas tertera dalam kitab-kitab hadith, seperti dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Hadith yang dimaksudkan berasal daripada ‘Aisyah radhiallahu 'anha:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ لَيْلَةً مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ فَصَلَّى فِي الْمَسْجِدِ وَصَلَّى رِجَالٌ بِصَلاَتِهِ. فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا. فَاجْتَمَعَ أَكْثَرُ مِنْهُمْ فَصَلَّى فَصَلَّوْا مَعَهُ. فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا. فَكَثُرَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى فَصَلَّوْا بِصَلاَتِهِ. فَلَمَّا كَانَتِ اللَّيْلَةُ الرَّابِعَةُ عَجَزَ الْمَسْجِدُ عَنْ أَهْلِهِ حَتَّى خَرَجَ لِصَلاَةِ الصُّبْحِ. فَلَمَّا قَضَى الْفَجْرَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَتَشَهَّدَ ثُمَّ قَالَ: أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ مَكَانُكُمْ وَلَكِنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْتَرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوا عَنْهَا فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ

Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam keluar pada suatu pertengahan malam. Baginda solat di masjid (Masjid Nabi). Beberapa orang mengikut solat baginda (menjadi makmum). Pada pagi (esoknya) orang ramai bercerita mengenainya. Maka berkumpullah lebih ramai lagi orang (pada malam kedua). Baginda bersolat dan mereka ikut solat bersama. Pada pagi (esoknya) orang ramai bercerita mengenainya. Maka bertambah ramai ahli masjid pada malam ketiga. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam keluar bersolat dan mereka ikut solat bersama.

Apabila malam keempat, masjid menjadi tidak muat dengan ahli. (Baginda tidak keluar) sehingga pada waktu solat subuh. Selesai solat subuh, baginda mengadap orang ramai, bersyahadah seraya bersabda: “Amma ba’d, sesungguhnya bukan aku tidak tahu penantian kalian (di masjid pada malam tadi) tetapi aku bimbang difardukan (Solat Tarawih) ke atas kalian lalu kalian tidak mampu.(ialah baginda bimbang umat Islam akan gagal atau cuai melakukannya lalu mereka berdosa. Baginda bersifat mengasihi umat, lalu mengelakkan dari ia diwajibkan oleh Allah.)Saya katakan, Allah tidak mungkin menfardukan sesuatu yang manusia tidak mampu. Namun maksud Rasulullah Hal sebegini berlaku sehingga Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam wafat.( – hadith no: 761 Rujuk (Kitab solat musafir dan menqasarkannya, Bab anjuran bersolat pada malam Ramadhan)

Dalam sebahagian riwayat al-Bukhari dan Muslim disebut: “…yang demikian berlaku pada bulan Ramadhan.” (وذلك في رمضان) ( – hadith no: 2011 Rujuk (Kitab Solat Tarawih, Bab keutamaan orang yang beribadah pada malam Ramadhan)

Hadith ini dengan jelas menunjukkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah yang pertama memulakan Solat Tarawih secara berjamaah dengan satu imam. Walaubagaimanapun baginda tidak melakukannya secara berterusan, bukan kerana ia perbuatan yang salah tetapi kerana bimbang ia menjadi satu kewajipan. Apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam wafat, kebimbangan ini tidak wujud lagi, maka dengan itu ‘Umar meneruskan semula Solat Tarawih secara berjamaah. Justeru ‘Umar al-Khattab bukanlah orang yang pertama memulakannya secara berjamaah.

al-Imam al-Syatibi menegaskan:

Renungi hadith ini. Ia menunjukkan kedudukan Solat Tarawih adalah sunat. Sesungguhnya solat baginda pada peringkat awal menjadi dalil menunjukkan kesahihan menunaikannya di masjid secara berjamaah pada bulan Ramadan. Baginda tidak keluar selepas itu adalah kerana bimbang ia difardukan. Ini tidak menunjukkan ia dilarang secara mutlak kerana zaman baginda ialah zaman wahyu dan tasyri’ (perundangan) (sehingga) ada kemungkinan akan diwahyukan kepada baginda sebagai satu kewajipan jika manusia mengamalkannya. Apabila telah hilang ‘illah al-tasyri’dengan wafatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam maka ia kembali kepada asalnya.(al-Syatibi, al-I’tishom, m.s. 147.)

‘Illah al-Tasyri’ (علة التشريع) bermaksud punca yang menyebabkan diletakkan sesuatu perundangan atau hukum. Dalam kes ini, punca baginda mengelak solat tersebut berjamaah secara berterusan ialah bimbang ia menjadi kewajipan. Baginda tidak ingin membebankan umat dengan suatu kewajipan baru, dibimbangi mereka akan cuai dan akhirnya berdosa.

Timbul persoalan seterusnya, mengapakah Abu Bakr radhiallahu 'anh tidak menghimpunkan orang ramai untuk melakukan Solat Tarawih secara berjamaah? Untuk mengetahui jawapannya, kita merujuk sekali lagi kepada penjelasan al-Imam al-Syatibi rahimahullah:

Adapun (sebab) Abu Bakr tidak mendirikannya adalah kerana salah satu daripada berikut, sama ada (pertama) dia berpendapat solat orang ramai pada akhir (malam) lebih afdal padanya dari dihimpunkan mereka dengan satu imam pada awal malam. Ini disebut oleh al-Turtusyi (الطرطشي) ataupun (kedua) disebabkan kesempitan waktu pemerintahannya  (Saiyyidina Abu Bakr radhiallahu 'anh hanya sempat memerintah dua tahun tiga bulan. (Ibn Kathir, al-Bidayah wa al-Nihayah (البداية والنهاية), jld. 7, m.s.)untuk melihat perkara-perkara cabang seperti ini sedangkan beliau sibuk dengan golongan murtad dan selainnya yang mana lebih utama daripada Solat Tarawih.(  al-Syatibi, al-I’tishom, m.s. 147-148.)

Timbul persoalan kedua, kenapakah ‘Umar al-Khattab radhiallahu 'anh menggelar hal tersebut sebagai satu bid‘ah? Sekali lagi, penjelasan al-Imam al-Syatibi rahimahullah menjadi rujukan:

Dia menamakannya bid‘ah hanya disebabkan pada zahirnya kerana Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah meninggalkannya dan sepakat pula ia tidak berlaku pada zaman Abu Bakr radhiallahu 'anh. Ia bukanlah bid‘ah pada makna (syarak). Sesiapa yang menamakan bid‘ah disebabkan hal ini, maka tiada perlu perbalahan dalam meletakkan nama. Justeru itu tidak boleh berdalil dengannya untuk menunjukkan keharusan membuat bid‘ah.  ( al-Syatibi, al-I’tishom, m.s. 148.)

Jelaslah ucapan ‘Umar bukanlah merujuk kepada bid‘ah yang dilarang oleh syarak tetapi merujuk kepada bid‘ah yang dimaksudkan dari segi bahasa atau keadaan. Ini kerana Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah melakukan Solat Tarawih secara berjamaah lalu berhenti disebabkan faktor penghalang yang dinyatakan tadi. Apabila faktor penghalang telah hilang, maka ‘Umar menghidupkannya semula. Justeru itu beliau menamakannya bid‘ah. Perkataan bid‘ah yang digunakan oleh ‘Umar radhiallahu 'anh hanya merujuk pada segi bahasa, tidak pada segi syarak. Dari segi syarak, ia adalah Sunnah kerana merupakan sesuatu yang pernah berlaku sebelumnya pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.